Terjebak Rutinitas
“Tak perlu bersedih karena pandemi memunculkan banyak keterbatasan. Semoga kita bisa mengalami bahkan menciptakan pengalaman-pengalaman baru yang membawa kita semakin bersyukur karena Yesus tidak sekadar lahir di dunia tapi juga lahir dan berdiam di hati kita.”
Datangnya musim penghujan, mendung sepanjang hari, dan menghirup udara yang lembap selalu mengingatkan saya bahwa sebentar lagi Natal akan tiba beserta tahun yang akan segera berganti. Natal selalu membawa saya ke memori masa lalu ketika masih anak-anak, saya bisa menikmati libur panjang yang menyenangkan bersama sepupu-sepupu yang tinggal berlainan kota dan kami berkumpul di rumah Opung di Jakarta. Momen itu berlangsung setiap Natal selama belasan tahun sampai akhirnya Opung berpulang ke rumah Bapa. Rutinitas tahunan itu pun menjadi semakin jarang dan lambat-laun menghilang.
Beranjak dewasa, saya semakin mengerti bahwa Natal bukan sekedar ajang kumpul keluarga dan bersenang-senang menikmati libur panjang. Bukan sekadar kegiatan membeli baju baru dan teman-temannya serta berusaha tampil sebaik mungkin saat datang ke gereja di Malam Natal. Bukan pula sekadar kegiatan mempersiapkan acara-acara Natal dengan musik yang wah dan dekorasi meriah.
Natal seharusnya berpusat pada Yesus. Bukankah merayakan Natal pada dasarnya adalah merayakan kelahiran Yesus? Lalu mengapa saya merayakannya seperti merayakan ulang tahun saya sendiri? Mengapa saya cuma fokus untuk menyenangkan diri sendiri, sementara menyenangkan Yesus jadi prioritas ke sekian?
Saya teringat pada suatu kotbah di Malam Natal. Entah berapa tahun yang lalu. Natal seharusnya dirayakan secara sederhana sebagaimana Yesus lahir ke dunia dengan cara yang sederhana pula. Natal seharusnya menjadi momen refleksi bagi kita bahwa Yesus lahir membawa misi keselamatan bagi dunia yang berdosa, termasuk kita, termasuk saya. Oleh karena itu sudah seharusnya saya melihat ke dalam diri sendiri, apakah saya sudah merespon anugerah keselamatan itu dan memberikan yang terbaik untuk Yesus? Sudahkah hidup saya menyenangkan hati-Nya? Dan juga, ingatkah kita pada orang-orang diluar sana yang membutuhkan pertolongan? Apa yang sudah kita perbuat?
Sudah puluhan kali saya merayakan Natal, mungkin anda juga, dan banyak kali di antaranya kita terjebak rutinitas. Bersyukur ajakan untuk menulis renungan ini membawa saya untuk keluar dari rutinitas tersebut, dan membuat saya berpikir lebih dalam tentang makna Natal yang sesungguhnya.

Pandemi berkepanjangan ini memang tidak menyenangkan bagi kita semua. Tetapi, sejujurnya saya justru bersyukur karena pandemi “memaksa” kita untuk tidak merayakan Natal dengan cara yang hingar-bingar. Tahun lalu, seperti kebanyakan dari kita, saya juga mengikuti Ibadah Natal di rumah saja, semua rencana tugas pelayanan di gereja batal karena keluarga saya terpapar covid. Sedih memang, tetapi di saat sedih itulah pikiran saya justru mengarah pada Yesus.
Menuju Natal tahun ini, semoga kita bisa mempersiapkannya dengan segenap hati dan pikiran tertuju pada Yesus Sang Bayi Natal. Tak perlu bersedih karena pandemi memunculkan banyak keterbatasan. Semoga kita bisa mengalami bahkan menciptakan pengalaman-pengalaman baru yang membawa kita semakin bersyukur karena Yesus tidak sekadar lahir di dunia tapi juga lahir dan berdiam di hati kita. Selamat menyambut Natal, Tuhan beserta kita. (eat)