Sebuah Kisah Natal Yang Remeh
“Saya menanti-nantikan momen Natal 2009 itu terulang kembali. Momen ketika penantian akan Kristus menghasilkan percikan-percikan rekonsiliasi yang memberikan cicipan langit dan bumi yang baru ketika Kristus menghadirkan rekonsiliasi yang sejati atas segenap ciptaan.”
24 Desember 2009
Tahun 2009 adalah tahun yang menarik buat saya. Pengalaman meninggalkan Surabaya untuk berkuliah setelah 10 tahun bersekolah di Surabaya, penuh kesempatan menemukan diri di konteks lingkungan baru yang lebih beragam. Kesempatan pula untuk merombak lebih jauh cara diri memahami iman.
Tahun itu pula tahun pertama saya mengalami Natal sebagai anak rantau yang pulang kampung ke Surabaya hanya saat Lebaran dan Natalan. Setengah tahun saya sudah tidak bertemu jemaat-jemaat GKI Diponegoro Surabaya, gereja tempat saya beranggota dan beribadah selama 10 tahun. Gereja yang begitu pahit-manis. Saya meninggalkannya ketika merantau dengan masih menyimpan kemarahan atas orang-orang tertentu dan pengalaman-pengalaman beriman yang melelahkan. Pengalaman yang mengantarkan saya untuk mengambil posisi sebagai ateis dan agnostik.
Masa-masa awal kuliah pun menjadi masa skeptis dalam beriman. Masih mencari-cari bentuk dan bangkit dari trauma. Masih meraba-raba. Butuh diyakinkan secara logis.
Natal kali itu adalah kesempatan bertemu dengan banyak orang-orang lama itu lagi. Beribadah di gedung itu lagi. Melihat kondisi-kondisi itu lagi. Prosesi ibadah Malam Natal hari itu tidak berkesan bagi saya yang datang dengan keinginan menghakimi seluruh rangkaian ibadahnya dari awal hingga akhir.
Namun selesai ibadah, ada suatu niat yang tiba-tiba dengan anehnya menghampiri diri. Saya serasa digerakkan untuk mencari-cari orang yang saya kenal. Mereka yang mewarnai kehidupan rohani di Surabaya. Mereka yang menorehkan tawa, amarah, sukacita, maupun kesedihan. Termasuk yang diam-diam meninggalkan luka pribadi. Saya ingin menyalami mereka satu-satu.
Aneh. Setiap salaman tidak terasa menyakitkan, bahkan satu per satu mendorong saya untuk menorehkan senyum di wajah. Bahkan saya tidak ingin mengungkit-ungkit perasaan lama terhadap mereka yang saya rasa pernah meninggalkan kesan negatif.

Aneh. Saya tidak menyangka akan pulang dari ibadah dengan sukacita setelah segala pemikiran negatif yang menghantui. Apa yang saya alami ketika bersalam-salaman setelah ibadah Malam Natal itu terasa unik sekali.
Saya memasuki masa jelang Natal dengan kepahitan dan kemalasan menyaksikan segala hingar-bingarnya, tipikal seorang yang “pahit”. Namun masa Natal itu berakhir begitu, ajaib. Saya kini sadari bahwa itulah titik ketika saya mulai mencoba kembali bersahabat dengan yang apa yang saya pahami sebagai transrasionalitas, suprarasionalitas, atau apalah nama ndakik-ndakiknya. Bahwa jangan-jangan memang ada yang mengatasi logika manusia.
Ketika saya melihat ke belakang, saya menyadari bahwa itulah momen ketika saya mulai belajar konsep rekonsiliasi pribadi. Bahwa pendamaian bisa mulai diwujudkan dengan hal sesimpel basa-basi jabatan tangan.
Saya pikir itulah semangat menyambut Natal yang saya petik saat itu. Sesuatu yang mulai mengembalikan pencarian akan kerinduan terdalam. Mungkin pembicaraan Yang Ilahi belum menggairahkan saya, namun Natal itu sudah cukup berarti sebagai dorongan untuk mencukupkan kebencian dan memulai rekonsiliasi.
Sejak saat itu, masa-masa jelang Natal, terkhusus masa Adven, menemukan pengharapan tersendiri. Saya menanti-nantikan momen Natal 2009 itu terulang kembali. Momen ketika penantian akan Kristus menghasilkan percikan-percikan rekonsiliasi yang memberikan cicipan langit dan bumi yang baru ketika Kristus menghadirkan rekonsiliasi yang sejati atas segenap ciptaan.
Selamat bersiap menyambut Natal dan menanti kedatangan-Nya. Jangan lupa untuk berdamai.