Perihal Cinta

“Tidak ada wujud cinta lebih hebat dari sosok Tuhan yang rela menukar surga untuk dunia, menanggung penderitaan tak terkira demi menebus dosa manusia yang dikasihi-Nya.”

“Cinta bukan tentang kita, tetapi tentang apa yang harus kau dan aku perbuat dengan kekuatan sebesar itu.”

Penggalan puisi oleh penyair kesukaan, Weslly Johannes, yang dimuat di buku “Cara-cara Tidak Kreatif Untuk Mencintai” membuat saya menghela nafas panjang sehabis membacanya, lalu melamun lama di warung pecel seberang kantor waktu itu.

“Lagu-lagu zaman sekarang isinya cinta-cintaan mulu!”

Ya gimana ya, ada alasan kenapa membahas cinta tak akan ada habis-habisnya :)

Karena ngomongin cinta sama dengan merefleksikan naik turun perjalanan hidup.

Kisah tentang kencan pertama, kebetulan-kebetulan yang menyenangkan, kehidupan pernikahan, kebahagiaan yang datang dalam berbagai bentuk, pelajaran tentang mengalah & kompromi, tentang menjaga syukur, dan hal lain yang bikin hangat. Namun, cinta juga tentang patah hati. Tentang luka, pengkhianatan, kekecewaan, pengorbanan, kehilangan diri sendiri, bertahan meskipun berat, perjalanan pulih—cerita-cerita yang membuat sadar bahwa cinta nggak melulu berbunga-bunga. Karena cinta kita bertahan, karenanya pula kita belajar tentang membalut luka. Cinta menjadi alasan kita hadir menjadi versi terbaik diri sendiri, namun demi cinta juga banyak yang lalu memilih menyakiti orang lain. 

Momen Natal selalu mengingatkan bahwa saya telah menjadi bagian dari kisah cinta terbaik sepanjang masa. Tidak ada wujud cinta lebih hebat dari sosok Tuhan yang rela menukar surga untuk dunia, menanggung penderitaan tak terkira demi menebus dosa manusia yang dikasihi-Nya.

Dalam sebuah sesi cangkruk dengan beberapa teman Pemuda di warung kopi, kami pernah saling bertanya—”Kira-kira Tuhan sempat ragu-ragu nggak ya? Apa yang dipikirin atau dirasain Tuhan sebelum turun ke dunia? Dia kan Mahatahu ya, berarti tau dong walopun udah ditebus, udah susah susah berkorban mati disiksa, eh endingnya manusia tetep aja doyan dosa melulu. Kira-kira Tuhan pernah nyesel gak ya?”

Pertanyaan liar yang hingga gorengan di meja habis, masih belum kami dapat jawabannya. Namun satu hal kami sepakati bersama: peristiwa Natal adalah anugerah terhebat yang kami terima. Untuk dikasihi sebegini nyatanya, sebegini besarnya, bahkan saat Ia tahu manusia tak akan pernah lepas dari dosa membuat kami merenung bahwa anugerah ini akan begitu sia-sia jika berhenti hanya di diri kami sendiri. Dan mungkin itulah makna sebenarnya: kita sudah sepatutnya mengasihi karena Allah lebih dahulu mengasihi kita, jauh melampaui akal & nalar kita.

Odoo CMS- Sample image floating

Seperti Yesus yang rela lahir ke dunia sebagai bayi manusia, mungkin ini momen untuk kita menghayati bahwa cinta kasih yang sesungguhnya. Bahwa mungkin perihal cinta bukanlah tentang diri kita sendiri—bukan tentang apa yang bisa kita dapat atau terima. Bukan tentang apakah kita akan dikasihi dengan cara & jumlah yang sama, bukan tentang ketakutan akan dikecewakan. Namun apa yang mau kita perbuat dengan kekuatan sebesar itu, dimulai dari orang-orang terdekat di hidup kita.

***

Suara klakson mobil di lampu merah membuyarkan lamunan siang itu. Saya membuka lembaran berikutnya, sebaris kalimat terpampang di halaman,

“Aku ingin menjadi tenang dan mencintai tanpa banyak kekhawatiran”

Saya tersenyum dan mengamini dalam hati, mengingat setiap kata layaknya doa yang akan dipanjatkan tiap malam. Mungkin di Natal kali ini, masih sama dengan 2 tahun terakhir, masih sarat dengan ketegangan akan ketidakpastian dari pandemi, membuat kita terus waspada dan penuh antisipasi. Namun semoga peristiwa kelahiran sang Bayi Natal menjadi pengingat dan memampukan untuk setia memelihara dan berbagi cinta kasih yang bebas dari cemas.

Seperti Kristus, sang perwujudan cinta sejati, kiranya kita pun dapat mengasihi orang-orang di sekitar kita sesungguh-sungguhnya, sebaik-baiknya.