Merindukan Natal
“Dan inilah tandanya bagimu: Kamu akan menjumpai seorang bayi dibungkus dengan lampin dan terbaring di dalam palungan." – Lukas 2:12
“Waktu kecil kita merindukan Natal, hadiah yang indah dan menawan, namun tak menyadari seorang bayi t’lah lahir bawa kes’lamatan ‘tuk manusia”.
Itulah sepenggal lirik lagu Natal yang berjudul “Karena Kita” yang sering kita dengar dan nyanyikan di masa Natal. Sama seperti lirik dalam lagu tersebut, saat masih anak-anak dan remaja, saya merindukan Natal karena suasana meriah perayaannya. Terlebih rumah saya di tempat asal berada di lingkungan gereja yang saat Natal tentu terasa nuansa kemeriahannya.
Saat saya mulai aktif ikut paduan suara remaja dan pemuda, beberapa kali saya ikut pelayanan paduan suara Natal ke gereja pelosok yang jauh dari kota. Meskipun saya tinggal di kota kecil, Bojonegoro, namun saat diundang pelayanan ke gereja kecil di pelosok desa, sangat terasa sekali perbedaannya dengan suasana di kota. Pohon Natal dan ornamen hiasan Natalnya minimalis. Karena keterbatasan kondisi, bahkan terkadang harus meminjam milik jemaat. Hal ini biasa dialami oleh jemaat di pedesaan.
Meskipun demikian, saya merasakan ada hal yang berbeda. Jemaat kecil di pelosok desa seringkali menyambut pelayanan kami dengan penuh sukacita. Di saat itulah saya justru merasakan sukacita Natal yang ada dalam kesederhanaan. Bukan kemeriahan yang gegap gempita khas di perkotaan. Cerita-cerita perjuangan iman para jemaat di pedesaan itu membuat saya tertempelak dan malu. Meski minoritas secara jumlah, mereka tidak takut dikucilkan. Mereka rela mengadakan perayaan Natal tanpa suasana gegap gempita demi menjaga keharmonisan.
Setelah saya menempuh pendidikan tinggi, bekerja dan tinggal di kota metropolis, makna Natal yang sebenarnya penuh kesederhanaan dan keterbatasan seolah terlupakan. Namun, pandemi covid-19 membuat suasana Natal tahun 2020 lalu berbalik 180° dengan tahun-tahun sebelumnya. Bahkan perayaan Natal di jemaat kecil di pedesaan yang pernah saya kunjungi saat pelayanan semasa remaja-pemuda masih terasa lebih meriah, jika dibandingkan dengan Natal di masa pandemi.
Pandemi covid-19 memang membuat perayaan Natal hilang kemeriahannya. Namun situasi ini justru memunculkan makna yang sebenarnya: Tuhan menyatakan diri-Nya dalam kesederhanaan dan keterbatasan, sebagaimana yang dikatakan malaikat kepada para gembala di padang Efrata dalam Lukas 2 : 12.
Saat saya hanya berdua dengan istri mengikuti ibadah Natal secara daring di depan laptop, pikiran saya tertuju pada peristiwa Natal pertama. Bukankah Natal pertama juga hanya dirasakan oleh sepasang suami istri, Yusuf dan Maria? Begitu juga saat yang memberikan ucapan Selamat Natal pada kami yang secara langsung hanyalah beberapa tetangga. Bukankah yang menyambut Natal pertama juga hanya rombongan gembala domba?
Di tengah kondisi yang sederhana dan penuh keterbatasan karena pandemi covid-19 itulah saya bisa menyanyikan refrein lagu “Karena Kita” dengan penuh penghayatan : “Karena kita Dia menderita, karena kita Dia disalibkan. Agar dunia yang hilang diselamatkan dari hukuman kekal”.
Selamat menyambut kelahiran Sang Penebus dalam palungan hati kita. Amin.