Ada Harapan
“Natal adalah momen ketika Allah masuk ke dalam kisah hidup kita, ditengah ketidakadilan dan kematian, yang menyadarkan kita akan ada anugerah damai sejarahtera sejati dari Allah diakhir penantian kita nanti.”
Suatu ketika saya sedang menunggu surat dari sinode untuk pemberitahuaan mengenai tempat stage (praktek di jemaat) ketika saya masih study di program seminarium. Rasa kuatir mulai menyelimuti, karena teman-teman dari sinode yang lain sudah mendapatkan tempat. Pada akhirnya, saya mendapatkan surat tersebut dan saya ditempatkan di Lampung. Perasaan takut mulai menyelimuti karena stereotype mengenai Lampung yang saya dengar dari media. Menurut media, Lampung terkenal dengan banyak begal. Bahkan ada berita mengenai pembunuhan seorang perempuan calon pendeta di Lampung yang membuat saya semakin kuatir (Lampung Post). Berbagai hal negatif ada dalam benak saya. Memang benar bahwa perasaan takut dan juga kuatir adalah hal yang wajar yang dialami oleh manusia. Termasuk saya. Namun, rasa kuatir yang berlebihan nyatanya juga tidak baik. Lagipula, kenyataan tidak selalu seburuk yang kita kuatirkan. Setelah dilalui, saya berhasil mengalahkan rasa kuatir itu dengan perasaan bahagia dalam segala proses pelayanan dan petemuan yang saya jalin bersama dengan jemaat.

Perasaan kuatir, sedih, takut dan juga merana ini pernah dialami oleh perempuan dan juga seorang ibu di Betlehem, karena perintah yang tidak logis dari Raja Herodes. Raja itu memerintahkan untuk membunuh semua bayi yang berumur kurang dari dua tahun. Bisa kita bayangkan bagaimana peristiwa itu sungguh menyayat hati bagi orang yang bernurani. Sungguh kita biasanya melihat histeria perayaan Natal dengan menggembirakan, karena penantian akan kelahiran-Nya adalah sumber kebahagiaan. Namun, dibalik moment kebahagiaan atas kelahiran-Nya ternyata ada peristiwa yang memilukan, ada jeritan dan tangisan yang menggema, ada keterpurukan, ada ketertindasan yang dialami oleh perempuan-perempuan Betlehem akibat keserakahan pemikiran Herodes yang tak manusiawi itu. Matius 2:18 berbunyi “Terdengarlah suara di Rama, tangis dan ratap yang amat sedih; Rahel menangisi anak-anaknya dan ia tidak mau dihibur, sebab mereka tidak ada lagi.” Lihatlah dengan seksama perasaan Rahel ketika melihat anaknya tidak ada lagi dalam pelukan dan dekapanya. Bahkan ia tidak mau dihibur karena kehilangan adalah pengalaman yang menyakitkan. Terlebih kehilangan tanpa bisa melawan dan menghindar. Rasa kuatir dan ketakutan yang saya alami jelas tidak sebanding dengan apa yang dialami oleh perempuan-perempuan di Betlehem
Untuk itu masa Adven menjadi masa perenungan bagi kita bahwa Raja Damai adalah Raja yang berpihak pada mereka yang lemah, terjajah dan tersisihkan dalam masyarakat. Bukan Raja yang menindas dengan tidak berempati, karena dia memiliki kuasa. Momen Natal 2021 memang kita masih diperhadapkan dengan pandemi. Namun, melalui perenungan ini kita sadar akan hadir-Nya yang membawa harapan yang bahagia melalui kasih dan anugerah bersama-sama dengan orang terkasih dengan saling berbela rasa, berdoa bagi mereka yang teraniaya, terampas hak-hak-nya sebagai manusia akibat keserakahan dan keangkuhan sesamanya. Kisah-kisah kelam di sekitar peristiwa Natal semoga tidak membuat kita membaca kisah ini dengan putus asa, karena peristiwa kelahiran-Nya justru mengabulkan harapan umat Allah. Harapan untuk hidup dalam damai sejahtera. Natal adalah momen ketika Allah masuk ke dalam kisah hidup kita, ditengah ketidakadilan dan kematian, yang menyadarkan kita akan ada anugerah damai sejarahtera sejati dari Allah diakhir penantian kita nanti.